KEBIJAKAN PENANGANAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
KEBIJAKAN
PENANGANAN
KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
A. Pendahuluan
Kebakaran hutan dan lahan hampir setiap tahun terjadi di Indonesia, hal ini menimbulkan masalah materiil maupun sosial.. Pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk menangani kebakaran hutan dan lahan ini, namun demikian kebakaran hutan dan lahan masih terus berulang , olehnya itu kebijakan penanganan kebakaran hutan dan lahan perlu dievaluasi kembali dalam upaya mencari solusi terbaik dalam menghindari kebakaran hutan dan lahan, antara lain dengan cara mereformasi kebijakan pengelolaan hutan dan lahan; mengkaji ulang izin pemanfaatan lahan, terutama pada lahan gambut; menyelesaikan persoalan sengketa lahan; memberdayakan masyarakat; dan menegakkan hukum. Selain itu perlu adanya upaya pemberdayaan masyarakat pengguna lahan agar tidak membakar hutan dan menemukan cara baru yang tidak merusak lingkungan.
Pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tidak hanya pengawasan atau patroli di daerah-daerah rawan kebakaran hutan saja. Tapi salah satunya juga dengan kampanye. Kampanye pencegahan karhutla sebagai salah satu upaya pengendalian karhutla dengan cara sosialisasi baik secara langsung maupun menggunakan media seperti spanduk, poster, stiker dan alat peraga lainnya yang berisi konten pencegahan karhutla.
Kebakaran hutan dan lahan paling banyak disebabkan oleh perilaku manusia, baik disengaja maupun akibat kelalaian mereka. Hanya sebagian kecil saja yang disebabkan oleh alam (petir atau lava gunung berapi). Penyebab kebakaran oleh manusia dapat dirinci sebagai berikut:
1. Konversi lahan, yang disebabkan oleh kegiatan penyiapan (pembakaran) lahan untuk pertanian, industri, pembuatan jalan, jembatan, bangunan, dan lain-lain;
2. Pembakaran vegetasi, yang disebabkan oleh kegiatan pembakaran vegetasi yang disengaja namun tidak terkendali sehingga terjadi api lompat, misalnya pembukaan hutan tanaman industri (HTI) dan perkebunan, atau penyiapan lahan oleh masyarakat;
3. Pemanfaatan sumber daya alam, yang disebabkan oleh aktivitas seperti pembakaran semak-belukar dan aktivitas memasak oleh para penebang liar atau pencari ikan di dalam hutan;
4. Pemanfaatan lahan gambut, yang disebabkan oleh aktivitas pembuatan kanal atau saluran tanpa dilengkapi dengan pintu kontrol yang memadai air sehingga menyebabkan gambut menjadi kering dan mudah terbakar;
5. Sengketa lahan, yang disebabkan oleh upaya masyarakat lokal untuk memperoleh kembali hak-hak mereka atas lahan atau aktivitas penjarahan lahan yang sering diwarnai dengan pembakaran.
B. Dampak kebakaran hutan
Kebakaran hutan dan lahan menimbulkan dampak bagi kehidupan manusia, baik positif maupun negatif. Namun, dampak negatif lebih mendominasi yang antara lain mengakibatkan:
1. Emisi gas karbon ke atmosfer sehingga meningkatkan pemanasan global;
2. Hilangnya habitat bagi satwa liar sehingga terjadi ketidakseimbangan ekosistem;
3. Hilangnya pepohonan yang merupakan penghasil oksigen serta penyerap air hujan sehingga terjadi bencana banjir, longsor, dan kekeringan;
4. hilangnya bahan baku industri yang akan berpengaruh pada perekonomian;
5. berkurangnya luasan hutan yang akan berpengaruh pada iklim mikro (cuaca cenderung panas);
6. polusi asap sehingga mengganggu aktivitas masyarakat dan menimbulkan berbagai penyakit pernafasan; dan
7. penurunan jumlah wisatawan.
Kebakaran hutan dan lahan yang terjadi dibeberapa provinsi telah menyebabkan hutan habis dan lahan menjadi tandus, disamping itu kualitas udara memburuk dan lebih berakibat bagi masyarakat didalam dan disekitas hutan yang mengalami kerugian ekonomi yang sangat tinggi. Mengingat dampaknya sangat merugikan baik secara materiil maupun sosial, upaya penanggulangan kebakaran hutan dan lahan perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah
C. Kebijakan Pencegahan Kebakaran Hutan dan Lahan
Sejak terjadi kebakaran hutan dan lahan yang cukup besar pada tahun 1982 dan rentetan kebakaran hutan beberapa tahun berikutnya, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan berbagai kebijakan dalam rangka menangani masalah ini.
Beberapa peraturan perundang-undangan yang dilahirkan menekankan sanksi yang berat bagi pelaku pembakaran hutan dan lahan, yaitu UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan, UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup; serta PP No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan yang telah direvisi dengan PP No. 60 Tahun 2009. Pengendalian kebakaran hutan secara umum dilakukan melalui upaya pencegahan, pemadaman, dan penanganan pascakebakaran yang dilakukan di tingkat nasional hingga tingkat kesatuan pengelolaan hutan. Upaya pencegahan kebakaran dilakukan melalui kampanye penyadaran masyarakat; peningkatan teknologi pencegahan, seperti peringatan dan deteksi dini kebakaran, seperti embung, green belt, menara pengawas, dan lainnya; serta pemantapan perangkat lunak. Upaya pemadaman kebakaran hutan dilakukan melalui peningkatan teknologi pemadaman, operasi pemadaman (pemadaman dini dan pemadaman lanjut), serta penyelamatan dan evakuasi. Sedangkan upaya penanganan pascakebakaran dilakukan dengan monitoring, evaluasi, dan inventarisasi hutan bekas kebakaran; sosialisasi dan penegakan hukum; dan rehabilitiasi. Untuk mendukung upaya-upaya tersebut, pemerintah juga melakukan pemberdayaan masyarakat sekitar kawasan hutan yang rawan kebakaran. Masyarakat inilah yang berhadapan langsung jika terjadi kebakaran hutan dan lahan. Mengingat pentingnya pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, Kementerian Kehutanan mempunyai kebijakan untuk melibatkan masyarakat dalam penanggulangan kebakaran hutan dan lahan melalui pembentukan organisasi berbasis masyarakat, seperti Masyarakat Peduli Api dan Kelompok Peduli Api melalui Peraturan Menteri Kehutanan No. 12/Menhut-II/2009 tentang Pengendalian Kebakaran Hutan
D. Reorientasi Penanganan Kebakaran Hutan
Penanganan yang dilakukan pemerintah dalam kasus kebakaran hutan dan lahan didominasi oleh penanganan yang sifatnya represif, seperti pemadaman dan penegakan hukum. Jika melihat penyebab kebakaran hutan dan lahan seperti dikemukakan di atas, kebijakan yang diterapkan selama ini baru sebatas mengatasi masalah pembukaan lahan yang dilakukan dengan pembakaran. Sementara itu, penyebab lain seperti konversi lahan, aktivitas pemanfaatan sumber daya alam, pemanfaatan lahan gambut, sengketa lahan belum tersentuh dalam kebijakan pengendalian kebakaran hutan dan lahan.
Terkait konversi lahan terutama lahan gambut, berdasarkan data Sawit Watch, setiap tahun terjadi konversi hutan menjadi perkebunan sawit sebesar 200 - 300 ribu hektar. Konversi juga terjadi di lahan gambut. Keterbatasan lahan mineral dan relatif rendahnya isu land tenure pada kawasan lahan gambut mengakibatkan lahan gambut menjadi pilihan untuk dikembangkan menjadi tanaman lain termasuk kelapa sawit. Konversi hutan rawa gambut (peat swamp forest) menjadi perkebunan sawit setiap tahun mencapai 50 - 100 ribu hektar.
Kebijakan terkait penanganan kebakaran hutan dan lahan di lahan gambut seharusnya mengarah kepada pengkajian ulang izin-izin yang sudah diberikan untuk pembangunan kebun sawit. Strategi ini penting untuk memastikan bahwa pembangunan kebun sawit tidak seharusnya mengakibatkan deforestasi, kerusakan lahan gambut, dan emisi karbon. Terkait kebakaran yang disebabkan oleh api dari aktivitas masyarakat selama pemanfaatan sumber daya alam, kebijakan pemerintah melalui penyadaran masyarakat sudah tepat. Hanya saja program ini belum optimal untuk menghentikan pembakaran hutan. Kampanye penyadaran masyarakat sebaiknya diikuti dengan pemberdayaan, sehingga masyarakat mempunyai mata pencaharian lain yang tidak merusak hutan. Mekanisme imbal jasa lingkungan juga dapat diterapkan untuk memberikan stimulus kepada masyarakat agar mau menjaga kelestarian hutannya. Terkait kebakaran hutan dan lahan akibat sengketa lahan, reformasi kebijakan pengelolaan hutan dan lahan sangat diperlukan. Pengkajian ulang izin pemanfaatan hutan dan lahan yang tumpang tindih harus segera dilakukan, terutama pada lahan-lahan yang bertumpang tindih dengan tanah ulayat masyarakat adat. Selama sengketa lahan belum terselesaikan, kemungkinan terjadinya kebakaran hutan dan lahan akan terus berulang.
E. Penutup
Kebakaran hutan dan lahan sudah menjadi bencana rutin secara nasional. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dengan mengeluarkan berbagai peraturan dan pembentukan kelembagaan. Namun demikian, pengendalian yang dilakukan lebih mengedepankan upaya represif daripada preventif sehingga kurang efektif untuk menangani kebakaran hutan dan lahan selama ini. Perlu ada evaluasi terhadap kebijakan penanganan kebakaran hutan dan lahan.
Upaya pertama adalah melakukan reformasi terhadap kebijakan pengelolaan hutan dan lahan. Kemudian dilanjutkan dengan melakukan pengkajian ulang terhadap izin-izin pemanfaatan lahan yang telah diterbitkan untuk mengatasi tumpang-tindih izin pemanfaatan lahan serta izin pemanfaatan lahan gambut. Selain itu, perlu pula diupayakan penyelesaian terhadap sengketa lahan, pemberdayaan masyarakat, dan penegakkan hukum. Terkait hal ini, DPR dalam menjalankan fungsi pengawasan perlu mendesak pemerintah untuk segera menangani secara optimal dan terukur terhadap masalah kebakaran hutan yang telah meresahkan dan merugikan masyarakat.
Soppeng, April 2022
Mengetahui, Disusun oleh,
Koordinator Penyuluh Kehutanan Penyuluh Kehutanan
UPT KPH Walanae Kec. Marioriwawo
Ir. H. MUHAMMAD JUNAN, S.Hut, IPM MARIANA, S.Hut
NIP. 19770121 199603 1 003 NIP. 19690719 200604 2 012
Rujukan
1. Wahyu Catur Adinugroho, Panduan Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut, Proyek Climate Change, Forests and Peatlands in Indonesia, Bogor, Indonesia: Wetlands Internasional-Indonesia Programme and Wildlife Habitat Canada, 2005.
2. Sri Nurhayati Qodriyatun*Kajian Singkat terhadap Isu-isu Terkini info singkat kesejahteraan sosial. Vol. VI, No. 06/II/P3DI/Maret/2014
Muantappppppppp
BalasHapusMakasih dinda
Hapus👍👍👍👍
BalasHapusMantap
BalasHapus👍👍👍
BalasHapusHebat kanda...
BalasHapusmantap
BalasHapus